"Kenapa dia pergi?" kata-kata itu selalu mengisi buku harianku sepekan ini. Bagaimana tidak, orang yang selama ini mengisi lembaran hariku tiba-tiba pergi tanpa kabar.
Padahal, aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi jauh melupakan aku, bahkan aku pun belum mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya.
… … … … … …
"Hei, woi nglamun aja loe?" tiba-tiba suara Sisi membuyarkan lamunanku.
"Eh, tumben loe nyamperin gue? Mana aja loe baru nongol?"
"Yeleh, gimana sih loe? Gue khan sobat loe, dari tadi gue teriak-teriak panggil loe dari dalam kelas sampe temen-temen kupingnya budeg. Eh, loe yang dipanggil malah nggak ngerasa. Padahal, dari kelas sampe teras kelas cuma berjarak 4 meter kan? By the way, loe nglamunin apaan sih kok sampe-sampe aku panggil aja nggak … …"
"Stop. Kalo loe ngomong terus kapan gue ngejelasinnya? Ehm, sebelum gue jelasin, gue mo tanya tentang maksud omongan loe yang barusan."
"Tentang omongan yang mana?"
"Waktu loe bilang loe teriak manggil-manggil gue dari dalam kelas sampe kuping temen-temen budeg. Emang kuping temen-temen budeg apaan sih? Yang ada malah makanan gudeg temen-temen habis loe santap. Hikss… Hikss…"
"Yeleh, maksud gue tuch, gue teriak-teriak manggil loe sampe telinga temen-temen tuli. He..He.. Nah, gitu dong kalo ketawa khan manis diliatnya. Sedap memang terasa."
"Itu khan iklan mie Sedap. Hik.. Hik.. By the way, makasih ya dah mo hibur gue."
"Ye pede plus ge-er amat sich loe.Siapa sich loe? Suka-suka gue dong."
"Oww… gitu. Ya udah ngapain loe ke sini segala. Sono pergi jauh dari gue, ntar gue teyeng lagi."
"He..Itu khan kata-kata gue. Hari gini masih peterokan?"
"Apa-an tuch peterokan. Yang ada kota Peterongan."
"Yeleh, maksudnya tuch hari gini masih ja niruin kata-kata gue. Lagu lama masih difotocopy?"
"I don't think so. Because as we know that your words are normally used in Javanese daily."
"Stop. Ngomong sama tangan. Loe ngomong apa-an sich kok pake norma sus, nggak ada kali. Menurut buku yang gue baca, dalam pelajaran Sosiologi yang ada tuch norma hukum, norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma kebiasaan."
"Ye, maksud gue normally used."
"Oww..gitu tow ceritanya."
"Ah, udah. Ntar gue nggak jadi cerita dong kalo loe ngoceh terus kaya burung menco yang habis diberi kroto? Gimana nich gue jadi cerita nggak?"
"Ya iyalah masa ya iyo. Greenleaf band aja judul lagunya cobalah masa cobayo."
"Si, kemarin sore sepulang les bahasa Inggris gue mampir ke rumah Tari buat ambil buku diktat bahasa Indonesia yang doi pinjem."
"Tari , temen loe SMP dulu?"
"Yoi."
"Lha terus apa hubungannya? Kok loe sekarang sedih, emang sama Tari buku loe dicoret-coret?"
"Nggak."
"Lha iya ko sedih? Kan loe paling nggak suka buku loe dicoret-coret. Ehm.. loe dimaki sama Tari?"
"Nggak."
"Ehm, yang ini excuse gue pasti benar. Di buku loe ada salah satu lagu ciptaan loe buat Venus hilang trus di depan loe doi nyanyi lagu itu trus pake ngaku doi yang captain lagu itu. Iya, bener kan?"
"Bukan. Nggak itu."
"Lha terus apa?"
"Kemarin sore doi cerita kalo doi ketemu Venus siang harinya di depan boutique Serafina. Trus loe tau nggak, selama Tari ketemu Venus dia cuma bilang lho. Katanya Venus juga kaget liat Tari. Karena mereka sama-sama kaget mereka cuma bilang lho. Padahal loe tau nggak sich, Tari itu sahabat gue dari SMP, doi juga tau gimana pahit getir perjuangan gue untuk jadi akrab bahkan bisa sering main ke rumah Venus walau cuma jadi sahabat and partner belajar bahasa Inggris. Kenapa sich Tari nggak bilang gue mo ketemu dengan Venus? Kenapa doi nggak bilang gue mo ketemu meskipun hanya sebentar? Tiap hari gue ke Warnet Barbie nanya operatornya apa Venus mampir ke situ, tiap hari gue lewat rumah Venus yang lama. Rumah yang jadi saksi keakraban gue dengan Venus, sampe-sampe gue malu karena terlalu seringnya gue tanya ke operator warnet dan seringnya gue lewat depan rumah lama doi. Gue ingin ketemu. Eh, giliran Tari yang diberi kesempatan ketemu dia cuma bilang lho." Tak terasa air mata jatuh ke pipi dan tanganku.
"Udah dong Ela, jangan sedih gitu kan masih banyak Venus-Venus yang lain di bumi ini. Bahkan kalo loe mau, loe bakal gue carikan 1000 Venus dalam sehari."
"Ye, kok loe kayak mo bangun 1000 patung untuk satu candi dalam semalam seperti di cerita Bandung Bondowoso Roro Jonggrang sich? Loe tau nggak masa hanya gara-gara gue cerita gue dapat boneka dari temen cowok gue and gue sering jalan ma doi trus Venus pergi gitu aja tanpa ngasih kabar. Bahkan Venus juga pernah ngirim pesan kalo gue udah jadian ma doi, gue nggak boleh lupa buat ngasih PJ ke Venus. Padahal doi itu temen akrab Venus sejak SMP. Huh, bego, stupid, stupid. Ngapain gue cerita itu ke Venus!"
"Udah dong jangan terus-terusan nyalahin diri loe sendiri. Nggak bakal nyelesein masalah tau. Ehm, sebentar aku dapat telepon dari Firman."
"Huh.."
"Ela, gue tinggal dulu ya? Loe nggak usah sedih. Tenang, loe ada gue yang siap bantu loe kapanpun loe mau. Kalo loe butuh apa-apa SMS gue. Gue rasa loe butuh waktu buat sendiri untuk bisa berpikir jernih kembali."
"Maksud loe ngomong barusan apa. Oww, jadi loe ninggalin gue dengan keadaan kayak gini dan loe sekarang mau pergi pacaran berduaan dengan Firman. Ya udah, gue nggak akan ganggu kalian. Mentang-mentang baru dapat telepon dari Firman, loe langsung aja mau nyelonong pergi. Sono pergi!"
"Maafin gue La. Please, dengerin gue. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue cuma ingin loe sadar, loe masih punya gue dan temen-temen yang lain yang siap bantu loe dan hibur loe di saat loe butuhin. Dan gue yakin sekarang loe butuh waktu buat nenangin diri loe."
"Iya, iya. Udah sana pergi ntar Firman ngambek lagi gara-gara nunggu loe."
"Makasih La. Moga loe cepat dapat solusi."
Mungkin benar apa yang sudah dikatakan Sisi. Tapi, aku nggak yakin karena bisa aja khan dia ngomong begitu supaya punya waktu untuk berduaan dengan Firman. Whatever? Aku tetap percaya kok sama Sisi, toh apa yang dia saranin ke gue, bisa gue bilang 90% saran dia rasional dan bijaksana.
"Hei, sendirian aja. Lagi ngapain?"
"Eh, Abi. Nggak lagi ngapa-ngapain kok."
"Ehm, kok mata kamu sembab? Kamu habis nangis ya?"
"Nggak."
"Jangan bohong."
"Iya, iya. Aku habis nangis."
"Kenapa?"
"Private problem."
"I see. So, don't you share with me?"
"I'm sorry. I can't."
"No problem. But, if you need something, you can ask me. Don't be shy."
"Sure. Beibh,"
"What? Apa barusan aku dengar? Kamu panggil aku Beibh?"
"Oh, maaf aku tadi salah ucap. Maksud aku Abi."
Hampir aja aku keceplosan. Memang sih aku sempat terpesona dengan Abi, bagaimana tidak model rambut, hobi, sama-sama atlet, gaya bicara, penampilan, sifat cuek seperti Venus yang dimiliki Abi membuat aku tertarik padanya. Beibh adalah nama panggilan sayangku untuk Venus, tapi mungkin Venus mikir kalo Beibh itu gue tujukan ke doi karena sifatnya yang kadang-kadang seperti anak kecil.
"By the way, ntar kamu masuk les nggak?"
"Ya, masuk kok." Bagaimana mungkin aku melewatkan waktuku begitu saja tanpa kamu, Bi. Kalo aja kamu tau aku kagum sama kamu. Aku suka kamu. Tapi, aku sangsi dengan perasaan ini. Jangan-jangan aku suka kamu hanya karena kemiripanmu dengan Venus.
Tett… Tett... Tak terasa bunyi bel berdering membuyarkan lamunanku dan segera sesudah itu Abi pamit dan aku kembali ke kelas dengan membawa sejuta pertanyaan.
… … … … … …
Tiga bulan telah berlalu.
Pesona Abi tak mampu menghapus bayangan Venus dari pikiranku. Yang kulakukan hanyalah mencipta lagu untuknya untuk menghibur diriku sendiri atas kepergiannya. "My Sweet Heart".
My Sweet Heart
3 2 3 1 │ 3 2 3 1 │
Saat ini diri ini
2 3 4 . │ 4 4 3 4│5 5 2 .│
Tak tahu apa yang terjadi…
3 3 2 2 │1 1 7 1│
°
Hanya satu kusesali
2 3 4.│4 4 3 4│55. 2│
Cintamu bukanlah untukku
6 7 1 2│ 3 ... │ 3 3 2 2 │ 1 1 7 .│1 2 6 .│
° ° ° °
Tapi ku coba . . . untuk tetap jadikan dirimu
1 7 . . │1 2 1 .│
°
Bintang Hatiku
2 3 4 5│6 . . . │
Harus ku coba
6 7 1 2│3 . . . │
° °
Melupakanmu
3 3 2 2 │1 1 7 7│11 . .│
Meski perih sakit hati ini
3 4 5 .│
Mencoba
4 4 3 3│2 2 33│3 . 4 4│
Mengobati rasa ini sendiri
6 7 1 2│ 3 ... │ 3 3 2 2 │ 1 1 7 .│1 2 6 .│
° ° ° °
Tapi ku coba . . . untuk tetap jadikan dirimu
1 7 . . │1 2 1 .│
° °
Bintang Hatiku
Suatu sore di bulan Maret, aku mengajak Tari ke Warnet Sedudo. Aku terkejut karena di sana bertemu dengan Davin. Davin adalah kakak kelasku sekarang, meskipun letak kelas kita berjauhan, namun sejak SMP kelas VIII aku sudah mengenalnya dan keluarganya, karena aku adalah guru piano adiknya yang sekarang sedang duduk si bangku SMP kelas VIII. Namun, saat itu adiknya, Jonathan, masih kelas 5 SD. Dan sebagai gantinya, aku diajari Davin computer, karena doi gape banget mainin computer. Hal ini kulakukan sebagai bentuk usaha pdkt dengannya. Meskipun hanya berlangsung selama ± 1 tahun, tapi aku merasa bahagia sebelum akhirnya kuputuskan untuk berhenti jadi guru piano Jojo, nama panggilan adik Davin karena waktu itu aku tahu dari Tari jika Davin hanya menganggap aku sebagai adiknya. Jadi, kurasa percuma saja bila tetap melakukan usaha pdkt dengan Davin. Akhirnya, tanggal 21 Februari 2008 kuputuskan untuk berhenti jadi guru piano Jojo. Dan sejak saat itu aku mulai belajar menganggap Davin sebagai kakak.
Namun, sejak pertemuan dengan Davin sore itu dan ditambah lagi kata-kata Tari jika Davin dan aku terlihat cocok sekali bila disandingkan sebagai kekasih membuat pikiranku terjejali bayangan Davin yang mengusik hatiku antara kenangan dan harapan masa lalu dengan kenyataan hari ini. Malam tanggal 15 April 2009 Davin menyatakan perasaannya kepadaku. Dia menyukaiku dan ingin agar aku jadi kekasihnya bukan lagi seperti asumsi masing-masing ketika hanya sebatas kakak dan adik, senior dan junior, atau guru dan murid. Selama ini, Davin membohongiku bila kehadiran dia hanya ingin ku anggap sebagai kakak.
Terang saja aku kaget saat itu. Kupikir ajakan Davin untuk makan malam adalah untuk merayakan ultahnya di bulan April atau sekedar menanyakan property untuk prepare ultahnya yang masih seminggu lagi. Aku meminta waktu untuk memberinya jawaban atas pertanyaannya itu. Dan kupikir ini adalah keputusan yang paling tepat.
Hampir semalaman aku tak bisa tidur memikirkan peristiwa 15 April 2009 itu. Kupikir jika hal ini kuceritakan pada Tari dan Sisi, tanpa ragu lagi mereka akan mendukung langkah Davin dan menyuruhku menerimanya saja dengan excuse tak ada gunanya aku menunggu Venus yang sampai saat ini tak diketahui rimbanya. Hanya akan membuang waktu saja bila terus menunggunya. Tapi aku semakin gelisah bila tidak menceritakan ini pada mereka. Akhirnya, kuceritakan keesokan harinya. Dan benar saja, Tari memberi jawaban sama persis seperti yang telah aku pikirkan. Namun, tidak demikian dengan Sisi. Bagiku jawaban Sisi cukup bijaksana. Dia ingin agar aku berpikir sejenak untuk selang beberapa hari sering date dengan Davin. Bila aku merasa nyaman ketika berada bersama Davin, berarti aku harus menerima cintanya. Namun, bila aku merasakan ada sesuatu yang kurang ketika jalan dengannya, itu berarti aku harus melepaskan Davin untuk yang lain.
Telah sepekan kujalani hari dengan kehadiran Davin. Namun, aku tak bisa membohongi diriku jika selama ini ketika bersama Davin ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang hanya bisa kurasakan ketika bersama seseorang yang telah mengisi hatiku saat ini, Venus, seseorang yang aku cintai. Aku sadar. Aku hutang penjelasan dengan Davin. Keesokan paginya, aku langsung pergi ke sekolah dan menuju tempat yang sudah aku janjikan untuk bertemu dengan Davin. Aku yakin Davin pasti juga sudah datang karena pesanku via facebook sudah kukirim sejak kemarin sore.
Akhirnya, pagi itu adalah pagi yang melunaskan hutang penjelasanku pada Davin. Aku tak peduli apakah setelah mendengar penjelasanku di H-1 ultahnya akan membuatnya marah atau benci padaku. Sengguh aku tak memperdulikan hal itu.
Dan aku telah memutuskan untuk tetap menunggu Venus, meskipun tanpa kepastian. But, I think this is my best way. Tapi ku coba untuk tetap jadikan dirimu "Bintang Hatiku". Aku yakin ini adalah keputusan yang paling bijaksana.
Please, come back to me, my sweet heart.