Sabtu, 02 November 2013

The First Moment Musikalisasi Puisi

Praise God, hari ini aku belajar banyak hal, bagaimana meraih sebuah mimpi yang harus disertai perjuangan dengan segala kemungkinan yang ada. Untuk pertama kali dalam sejarah hidup gue, membaca dalam musikalisasi puisi. Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu selama acara berlangsung. Gue akui gue belum bisa tampil maksimal tadi, banyak evaluasi yang harus di follow up, mulai teknik mic, penguasaan panggung, intonasi, artikulasi, persiapan materi yang harus dari jauh-jauh hari (maklum persiapan cuma H-1, lebih tepatnya 21 jam menuju acara berlangsung*sangat tidak dianjurkan), body language, dan yang penting 'feel' memberi nyawa dalam puisi. Gue rasa gue tadi seperti patung, fokus gue bukan pada pesan yang ingin gue sampaikan pada audience, tapi nggak tw fokus buyar di mana, merasa salah tempat salah acara.
Awalnya sempat ragu apakah akan terus melaju mengingat kesalahan tema yang buat serangan tremor mendadak, sumpah gue nggak tau kalo malam puisi kali ini temanya akustik revolusi, dan gue nyiapin bait puisi mellow abis.(efekgagalpahamgagaltemagagalmoveon), tapi gw percaya di dunia ini nggak ada yang sia-sia, Tuhan menaruh gw di suatu peristiwa bukan tanpa alasan, melainkan karena Dia tahu gw kuat menanggungnya di dalam Dia yang memampukan. Pertama datang tanya gimana cara register, trus ditanyain brapa jumlah followers, nah ini nih yang bikin gue sedikit patah hati, karena baru dapat followers 270-an (numpang promo @arthadream), lanjut order mochaccino coffe and french fries. Sembari menunggu dapat banyak pelajaran ketika menikmati suguhan acara malam puisi di Oost Cafe Surabaya 2 November 2013. Ini bisa jadi salah satu pelajaran di hidup gw, hello effect itu perlu WOW FACTOR dan gue harus asah itu, dan terjadi lagi tendensi manusia dalam menilai seseorang dari penampilan, padahal kalo ditelaah lebih dalam setiap insan berpotensi untuk jadi guru bagi sesama. Hari ini aku belajar bahwa di atas langit masih ada langit, seseorang yang menurutku terlihat biasa dalam challenges menggombal ternyata sangat jago dalam totalitas musikalisasi puisi, dan segala hal bisa saja terjadi tiba-tiba, oleh karenanya gue harus lebih peka, salah satunya saat gue jadi sasaran teriakan ekspresi peserta musikalisasi puisi dari Malang, misalnya. Dia benar-benar dekat dan teriak di telinga kanan gue, speechless dan nggak ngerti harus ngapain (mungkin GCS gue menurun jadi 10). Trus seharusnya gue bawa buku2 gue yang udah release, kan bisa skaligus promosi.*ups
Gue merasa lega, setidaknya uneg-uneg gue udah tersalurkan. Tapi, ini bukan akhir dari segalanya, ini hanyalah langkah awal untuk pijakan asa yang harus kuraih. Meskipun mungkin ini salah satu pertanda dari Tuhan, kamu bukanlah pemilik ruang hati, tapi gue tetap mau berterima kasih karena kamu telah memberi warna dan inspirasi dalam perjalanan hidupku.#VAT
Jadi, untuk ke depannya harus lebih baik, minta penyertaan Tuhan, prepare yang lebih maksimal dan totalitas dalam perform.

Sabtu, 19 Oktober 2013

HADIRMU, SERTAI TIAP LANGKAHKU

HADIRMU, SERTAI TIAP LANGKAHKU Bunda, betapa bahagianya aku dapat melihat senyum mengembang terpancar dari wajahmu, dan terlebih kau tersenyum karena aku. Engkau sosok yang sungguh sempurna bagiku. Bunda, engkau sosok wanita yang menunjukkan kepadaku bagaimana hidup dan bilamana tak hidup, berkat kemurahan, keberhasilan, dan rasa syukur yang mengangkatku supaya jauh dari kehampaan cinta diri. Engkau tunjukkan siapa aku ini, dan apa yang bukan aku, dengan dorongan cintamu, kelembutan dan keyakinanmu memegangku serta memanggilku kepada ketetapan hati yang lebih dalam. Sejauh kaki melangkah, sedalam otak berpikir, selentik jemari tangan melukiskan untaian kata, tak ada yang mampu menandingi kedalaman kasih yang kau berikan padaku. Sosok wanita penuh charisma, lembut hati, dan manis, yang tak pernah mengeluh akan kerasnya hidup. Wanita yang mengajari cara survive, menentukan prioritas, dan memilih win-wi solution dalam menyelesaikan masalah, Ibu, seorang malaikat yang Tuhan ciptakan untuk menjagaku selama perjalanan hidup ini. Ibu, hanya dikau dan doamu yang mampu tenangkan daku dari lautan masalah yang menghimpit. Hanya senyummu yang mampu memberikan kelegaan dan meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Terjalnya jurang kehidupan yang harus kulalui terasa ringan ketika kubagi beban hidupku lewat curahan cerita padamu. Ibu, aku tahu seberapa keras usahaku untuk membalas budimu, semua tak akan pernah terlunaskan. Kasih sayangmu terlampau besar untukku. Kali ini aku ingin bernostalgia dengan membuka fragmen memori yang paling berkesan dalam hidupku, sebuah proses pendewasaan yang kau ajarkan dalam sejarah hidupku. Kisah ini berawal ketika aku harus bergumul dengan berbagai pilihan yang menguras otakku untuk berpikir dan menganalisis konsekuensi atas pilihan tersebut. Aku ingat betul sewaktu masih kelas 1 SMA, engkau selalu mengingatkanku supaya rajin belajar untuk persiapan penjurusan yang pasti menjadi pijakan dalam menentukan masa depanku kelak. Permintaanmu saat itu hanya satu menginginkan aku kuliah di teknik industri setelah kurasa permintaaanmu yang ingin melihat aku berprofesi sebagai pahlawan medis kutolak, kurasa kau gagal dalam hal itu. Di tengah dunia kehidupan kita yang hiruk pikuk ini betapa lebih mudah membayar sesuatu dengan kartu kredit daripada memberikan hadiah dari kedalaman hati nan tulus. Hal itu kurasakan menohok ragaku. Aku menyanggupi permintaanmu untuk kuliah mengambil teknik industry dengan mengajukan syarat asalkan aku duduk di bangku jurusan IPA dan bisa menduduki peringkat di kancah olimpiade kimia sehingga mudah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan teknik industri. Setiap senja kulihat engkau duduk dengan kepala tertunduk seperti tampak merenung dan belakangan aku menyadarinya, disetiap doamu, Bunda, aku mendengar namaku kau sebut. Tak pernah sekalipun kau mengalpakannya. Air mataku mulai menitik melihat apa yang ditangkap fokus mataku. Dalam hati aku merasa bersalah, kuakui keinginanku menerima kesanggupan kuliah di jurusan teknik industri bukanlah berasal dari hatiku. Kupikir akan jauh lebih baik berteman dengan angka berhitung dan pena untuk sketsa skala, meskipun aku tahu aku sangat membenci pelajaran menggambar. Entah mengapa otakku tak bersinergis dengan seni lukis. Kuambil pilihan itu daripada harus menjadi bidan, perawat, atau dokter yang tiap harinya harus bergelut dengan pasien. Engkau tahu, Bunda, dan engkau jauh lebih mengenalku, aku adalah gadis yang takut diambil darahnya, tak tega melihat kondisi luka menganga, berhubungan dengan luka jahit, berurusan bau obat-obatan, jarum suntik serta sanak saudaranya. Sebagai seorang PRT (baca: Peserta Remidi Tetap) mata pelajaran kimia dan fisika, amatlah sukar menembus peluang berada di golongan kelas IPA apalagi menjadi olimpian. Mustahil, bagaikan memindahkan gunung ke lautan. Tapi, lewat perjuangan, doamu diluluskan, Bunda, dan untuk apa saja yang kita jalani dengan sentuhan cinta, apa yang sebelumnya terasa khayalan berubah jadi kenyataan. Hellen Keller pernah mengatakan bahwa hal-hal terindah dan terbaik di dunia tak dapat dilihat atau disentuh. Mereka hanya bisa dirasakan dengan hati. Teramat menyentuh cintamu, Bunda, bagaikan matahari yang terbit setiap pagi, memberi cahaya kepada siapa saja tanpa terkecuali. Kau pun masih tersenyum meskipun aku tahu dalam hatimu menjerit, berteriak atau bahkan mungkin marah. Tapi, kenapa itu tak kau perlihatkan padaku, Bunda? Saat aku melenceng dari janjiku,saat pengumuman tes Ujian Saringan Masuk perkuliahan aku menolak kuliah di jurusan teknik industri, melepas beasiswa, dan lebih memilih jurusan manajemen bisnis yang sudah pasti akan merupakan dunia baru dengan spekulasi perhitungan berbeda dari ilmu eksak yang selama ini kupelajari. Engkau tetap menunjukkan kepadaku makna kesetiaan dalam mendampingi jalanku. Aku terharu atas perlakuanmu yang begitu istimewa selama aku hidup di dunia. Tak ada yang lebi pedih, tak ada sakit yang begitu perih ketika kita tak bisa membuat orang yang kita sayangi bahagia, ketika melihat mereka terluka karena kita. Aku sakit, Bunda. Sakitku laksana panah cuka pada luka. Melihatmu diam itu jauh lebih mencekam, menikam layaknya tenggelamnya kapal hidupku karena karam, daripada mendengar amarahmu bagai petir menyambar tapi memberi penghidupan harapan bagi semesta. Pikiran manusia memang cepat berubah. Kecintaanku selama masuk di kelas IPA mengantarku dengan mantap menyatakan “kimia harga mati”. Aku mendaftar di salah satu akademi ternama di Indonesia, mengambil jurusan D3 Kimia Analisis, menyuruhku dengan sukarela melepaskan (lagi) pilihan yang sudah kubuat sebelumnya. Saat itu kau masih menunjukkan ketersediaanmu mendanai biaya pendaftaranku dan malah kau juga yang merengek, meminta Ayah menyetujui langkah baruku. Jejak baru setapak kulalui tatkala aku menginjakkan kaki sebagai mahasiswa di akhir semester 1. Aku rindu suara merdumu, Bunda, melihat engkau dengan sigapnya memainkan pisau memasakkan makanan untuk keluarga, mendengar gelak tawamu saat Ayah mulai lupa tanggal pertama memintamu jadi kekasih hatinya, sorot mata ketenangan bak aliran danau yang menyegarkan. Di setiap bait doa yang kau panjatkan, untaian puisi ketentraman menghujani kalbuku.Aku masih putri kecilmu yang akan selalu membutuhkan dampinganmu seumur hidupku. Sebagian besar orang butuh mendengar “dua kata sederhana” itu. Terkadang, mereka mendengarnya pada saat yang tepat. “Aku mencintaimu.” Bunda, aku mau kau mendengar kata itu sekarang, esok, lusa, dan seterusnya. Aku mau senantiasa mendengar doamu terjawab, di dalam pintamu aku bisa mendengar namaku selalu kau sebut. Siang hari di bulan Oktober 2011, tatkala angin semilir meniupkan hawa kerinduan kotaku, bayu, aku dan sekelompok paduan suara yang menamakan diri Raphael Rangers mengadakan kunjungan ke sebuah panti jompo. Aku tergugah, terbangun dari hidup lamaku yang terkesan mengikuti arus nafsu, berusaha bangkit menyadari waktu sungguh amat berharga. Waktu bukan hanya sekedar uang, tapi adalah talenta dari Sang Maha Pencipta. Mataku terbuka dan hatiku terketuk untuk menerima panggilan bekerja di bidang kesehatan. Kukira engkau lelah lalu mulai menerima kekalahan dari pemikiranmu yang menginginkanku menjadi seperti yang kau ingini sejak dulu. Hening menyelimuti percakapan kita seolah kita berada dalam semak-semak kehidupan dan mencari kehendak Tuhan. Akan tetapi, bukankah ini kemenangan dari jalan yang kita tentukan? Gemercik gerimis tampaknya memberi isyarat mewakili perasaanku dan Bunda. Kudengar isakan tangis dari suara di ujung telpon. Tapi, mengapa Bunda tetap juga berdoa memanjatkan harap kebahagiaan untukku dalam kegundahan yang tak seharusnya terjadi. Doamu begitu tulus, cintamu padaku teramat dalam untuk kuselami, pinta yang engkau pohonkan pada-Nya masih terekam detail dalam benakku. Bahkan kau rela tak masuk kerja demi mengurus prasyarat pendaftaranku, sampai-sampai kau jatuh sakit tetapi tetap kau paksakan menemaniku, mendampingiku menjalani serangkaian tes masuk fakultas kedokteran. Sungguh sebuah ikatan begitu dalam dan kuat, ikatan itu menetap selamanya di suatu tempat di luar jangkauan kata-kata dan tak terlukiskan indahnya. Lalu kau mulai lupa akan pola makan, guratan-guratan mulai muncul di dahimu, engkau pun dengan menghitung putaran matahari, menghadapi kepudaran rembulan kehidupan. Sebagai wanita karier, engkau selalu disibukkan dengan agenda yang berjubel, tapi tak pernah sekalipun Bunda melupakan kewajiban sebagai seorang ibu. Dan mungkin ini kedengarannya egois, sungguh aku lebih menyukai Bunda memakai pakaian santai, tanpa make up ataupun atribut aksesoris lain, karena saat itulah aku tahu engkau milik kami. Hidup ini tidak selalu didasarkan pada jawaban-jawaban yang kita terima, tetapi juga pada pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan. Sebagai seorang anak, tak perlu diibaratkan sebagai pekerja yang harus menyodorkan proposal sebagai tanda pemenuhan terkabulnya permohonan, tidak denganku. Setiap keinginanku mungkin tidak selalu kau penuhi, tapi tidak dengan kebutuhanku. Engkau selalu tahu apa yang benar-benar kubutuhkan, bukan apa yang sekedar menjadi keinginanku. Meskipun aku tahu ada hal yang harus kita perjuangkan di tengah rintangan yang menghadang. Syukurlah, di papan pengumuman tercantum namaku sebagai salah satu peserta yang lolos diterima untuk menjadi mahasiswa kedokteran. Akhirnya keajaiban dunia itu lagi-lagi datang. Merespon panggilan hidup memang tak mudah. Akhirnya, aku harus menempa mimpi itu untuk kembali mewujudkan keajaiban lagi, menjadi seorang dokter profesional dengan integritas moral, soft skill prima, peduli kepada masyarakat dan melayani penuh kasih. Akhir itu kini menjadi awal yang harus diperjuangkan. Kini, sebagai seorang anak yang tengah menganyam pendidikan menjadi mahasiswi kedokteran, mimpi itu sekarang tak lagi untuk bermain-main, ada pada pasien-pasien yang membutuhkan uluran tangan tulus karena aku mengemban misi kemanusiaan yang amat berat berkaitan dengan nyawa manusia. Menjadi dokter bukanlah pengejaran prestise ataupun pemberi harapan palsu, namun seorang dokter adalah perpanjangan tangan Sang Pencipta untuk menolong jiwa. Demi merekalah sekarang aku hidup, dengan cita, mimpi, dan cinta yang benar-benar terbit dari hati, aku mau mempersembahkan lentera jiwa dan raga untuk segenap permata jiwa yang tiada tara, manusia yang membutuhkan uluran kasih. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan bakat, visi, dan komitmen ketekunan dan yang terpenting kepercayaan yang teguh bahwa kita bisa menata diri kita sendiri. Ibu, sungguh doamu mujarab, kedahsyatannya jauh lebih ampuh dari bom nuklir sekalipun. Doamu kekuatan terbesar di muka bumi ini. Aku bersyukur, di setiap doamu kemarin, kini, esok dan selamanya Bunda selalu tak lupa membawa namaku dalam serangkai syair pujian doamu. Aku ingat betul pesan yang selalu kau katakan padaku untuk bekal hidup, “Sederhana kuwi gak opo, Nduk, pokoke sing sampeyan lakoni iku bener, becik, lan ora nyimpang saking dhawuhing Gusti Pangeran,” begitu nasehat Ibu yang selalu berusaha kupegang teguh selama hidup di perantauan. Ibu selalu mengajariku untuk hidup sederhana dan memegang prinsip nilai-nilai kehidupan sehingga bisa mengendalikan kondisi yang acapkali memaksa kita meninggalkan apa yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Dunia boleh berubah tapi iman tak boleh goyah. Sepintar dan secerdas apapun kita, kita tetap tak boleh melupakan Sang Pencipta. Karena seringkali yang terjadi ketika orang mulai menggenggam ilmu pengetahuan, ada beberapa orang menajdi takabur, sementara seharusnya kita bersyukur. Iman bukan hanya soal perasaan dan hati, tapi juga menyangkut akal budi. Segenap hati, budi, pikiran, tenaga, perasaan harus dipadukan unutk menguatkan iman kita. Hanya karena Dia-lah segala sesuatu ada dan tidak ada. Karena kita semua adalah milik Tuhan dan kepada-Nya kita akan kembali. Manusia boleh berusaha dan menghendaki sesuatu, tetapi pada akhirnya Tuhan-lah yang menentukan. Dia tahu mana yang terbaik bagi umat-Nya. Kini aku semakin mantap dalam menjalani setiap jejak langkahku,aku tahu Bunda selalu mendukung pilihan positif yang kutapaki. Dalam harapmu, engkau selalu memohon anugerah kesehatan untuk kami sekeluarga, dijauhkan dari segala marabahaya, dilindungi dari segala yang jahat, diampuni kesalahan dan dosa baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, diberikan rejeki yang secukupnya dan bisa berbagi dengan sesama sampai akhirnya kami kembali ke rumah-Mu dengan bahagia sentosa. Bunda, terima kasih, kulantunkan harapan ke hadirat-Nya semoga doamu senantiasa didengar dan direstui oleh Sang Empunya Semesta.Mudah-mudahan Bunda bisa menjagai keluarga sampai generasi cucu bahkan cicit. AMIN. ********************************************************* “Hidup sederhana saja, Nak, yang terpenting apa yang kamu lakukan adalah benar, baik, dan tidak melanggar dari perintah Sang Pencipta,” (Bahasa Jawa)

Jumat, 12 November 2010

CERPEN BINTANG HATIKU

"Kenapa dia pergi?" kata-kata itu selalu mengisi buku harianku sepekan ini. Bagaimana tidak, orang yang selama ini mengisi lembaran hariku tiba-tiba pergi tanpa kabar.
Padahal, aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi jauh melupakan aku, bahkan aku pun belum mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya.
… … … … … …
"Hei, woi nglamun aja loe?" tiba-tiba suara Sisi membuyarkan lamunanku.
"Eh, tumben loe nyamperin gue? Mana aja loe baru nongol?"
"Yeleh, gimana sih loe? Gue khan sobat loe, dari tadi gue teriak-teriak panggil loe dari dalam kelas sampe temen-temen kupingnya budeg. Eh, loe yang dipanggil malah nggak ngerasa. Padahal, dari kelas sampe teras kelas cuma berjarak 4 meter kan? By the way, loe nglamunin apaan sih kok sampe-sampe aku panggil aja nggak … …"
"Stop. Kalo loe ngomong terus kapan gue ngejelasinnya? Ehm, sebelum gue jelasin, gue mo tanya tentang maksud omongan loe yang barusan."
"Tentang omongan yang mana?"
"Waktu loe bilang loe teriak manggil-manggil gue dari dalam kelas sampe kuping temen-temen budeg. Emang kuping temen-temen budeg apaan sih? Yang ada malah makanan gudeg temen-temen habis loe santap. Hikss… Hikss…"
"Yeleh, maksud gue tuch, gue teriak-teriak manggil loe sampe telinga temen-temen tuli. He..He.. Nah, gitu dong kalo ketawa khan manis diliatnya. Sedap memang terasa."
"Itu khan iklan mie Sedap. Hik.. Hik.. By the way, makasih ya dah mo hibur gue."
"Ye pede plus ge-er amat sich loe.Siapa sich loe? Suka-suka gue dong."
"Oww… gitu. Ya udah ngapain loe ke sini segala. Sono pergi jauh dari gue, ntar gue teyeng lagi."
"He..Itu khan kata-kata gue. Hari gini masih peterokan?"
"Apa-an tuch peterokan. Yang ada kota Peterongan."
"Yeleh, maksudnya tuch hari gini masih ja niruin kata-kata gue. Lagu lama masih difotocopy?"
"I don't think so. Because as we know that your words are normally used in Javanese daily."
"Stop. Ngomong sama tangan. Loe ngomong apa-an sich kok pake norma sus, nggak ada kali. Menurut buku yang gue baca, dalam pelajaran Sosiologi yang ada tuch norma hukum, norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma kebiasaan."
"Ye, maksud gue normally used."
"Oww..gitu tow ceritanya."
"Ah, udah. Ntar gue nggak jadi cerita dong kalo loe ngoceh terus kaya burung menco yang habis diberi kroto? Gimana nich gue jadi cerita nggak?"
"Ya iyalah masa ya iyo. Greenleaf band aja judul lagunya cobalah masa cobayo."
"Si, kemarin sore sepulang les bahasa Inggris gue mampir ke rumah Tari buat ambil buku diktat bahasa Indonesia yang doi pinjem."
"Tari , temen loe SMP dulu?"
"Yoi."
"Lha terus apa hubungannya? Kok loe sekarang sedih, emang sama Tari buku loe dicoret-coret?"
"Nggak."
"Lha iya ko sedih? Kan loe paling nggak suka buku loe dicoret-coret. Ehm.. loe dimaki sama Tari?"
"Nggak."
"Ehm, yang ini excuse gue pasti benar. Di buku loe ada salah satu lagu ciptaan loe buat Venus hilang trus di depan loe doi nyanyi lagu itu trus pake ngaku doi yang captain lagu itu. Iya, bener kan?"
"Bukan. Nggak itu."
"Lha terus apa?"
"Kemarin sore doi cerita kalo doi ketemu Venus siang harinya di depan boutique Serafina. Trus loe tau nggak, selama Tari ketemu Venus dia cuma bilang lho. Katanya Venus juga kaget liat Tari. Karena mereka sama-sama kaget mereka cuma bilang lho. Padahal loe tau nggak sich, Tari itu sahabat gue dari SMP, doi juga tau gimana pahit getir perjuangan gue untuk jadi akrab bahkan bisa sering main ke rumah Venus walau cuma jadi sahabat and partner belajar bahasa Inggris. Kenapa sich Tari nggak bilang gue mo ketemu dengan Venus? Kenapa doi nggak bilang gue mo ketemu meskipun hanya sebentar? Tiap hari gue ke Warnet Barbie nanya operatornya apa Venus mampir ke situ, tiap hari gue lewat rumah Venus yang lama. Rumah yang jadi saksi keakraban gue dengan Venus, sampe-sampe gue malu karena terlalu seringnya gue tanya ke operator warnet dan seringnya gue lewat depan rumah lama doi. Gue ingin ketemu. Eh, giliran Tari yang diberi kesempatan ketemu dia cuma bilang lho." Tak terasa air mata jatuh ke pipi dan tanganku.
"Udah dong Ela, jangan sedih gitu kan masih banyak Venus-Venus yang lain di bumi ini. Bahkan kalo loe mau, loe bakal gue carikan 1000 Venus dalam sehari."
"Ye, kok loe kayak mo bangun 1000 patung untuk satu candi dalam semalam seperti di cerita Bandung Bondowoso Roro Jonggrang sich? Loe tau nggak masa hanya gara-gara gue cerita gue dapat boneka dari temen cowok gue and gue sering jalan ma doi trus Venus pergi gitu aja tanpa ngasih kabar. Bahkan Venus juga pernah ngirim pesan kalo gue udah jadian ma doi, gue nggak boleh lupa buat ngasih PJ ke Venus. Padahal doi itu temen akrab Venus sejak SMP. Huh, bego, stupid, stupid. Ngapain gue cerita itu ke Venus!"
"Udah dong jangan terus-terusan nyalahin diri loe sendiri. Nggak bakal nyelesein masalah tau. Ehm, sebentar aku dapat telepon dari Firman."
"Huh.."
"Ela, gue tinggal dulu ya? Loe nggak usah sedih. Tenang, loe ada gue yang siap bantu loe kapanpun loe mau. Kalo loe butuh apa-apa SMS gue. Gue rasa loe butuh waktu buat sendiri untuk bisa berpikir jernih kembali."
"Maksud loe ngomong barusan apa. Oww, jadi loe ninggalin gue dengan keadaan kayak gini dan loe sekarang mau pergi pacaran berduaan dengan Firman. Ya udah, gue nggak akan ganggu kalian. Mentang-mentang baru dapat telepon dari Firman, loe langsung aja mau nyelonong pergi. Sono pergi!"
"Maafin gue La. Please, dengerin gue. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue cuma ingin loe sadar, loe masih punya gue dan temen-temen yang lain yang siap bantu loe dan hibur loe di saat loe butuhin. Dan gue yakin sekarang loe butuh waktu buat nenangin diri loe."
"Iya, iya. Udah sana pergi ntar Firman ngambek lagi gara-gara nunggu loe."
"Makasih La. Moga loe cepat dapat solusi."
Mungkin benar apa yang sudah dikatakan Sisi. Tapi, aku nggak yakin karena bisa aja khan dia ngomong begitu supaya punya waktu untuk berduaan dengan Firman. Whatever? Aku tetap percaya kok sama Sisi, toh apa yang dia saranin ke gue, bisa gue bilang 90% saran dia rasional dan bijaksana.
"Hei, sendirian aja. Lagi ngapain?"
"Eh, Abi. Nggak lagi ngapa-ngapain kok."
"Ehm, kok mata kamu sembab? Kamu habis nangis ya?"
"Nggak."
"Jangan bohong."
"Iya, iya. Aku habis nangis."
"Kenapa?"
"Private problem."
"I see. So, don't you share with me?"
"I'm sorry. I can't."
"No problem. But, if you need something, you can ask me. Don't be shy."
"Sure. Beibh,"
"What? Apa barusan aku dengar? Kamu panggil aku Beibh?"
"Oh, maaf aku tadi salah ucap. Maksud aku Abi."
Hampir aja aku keceplosan. Memang sih aku sempat terpesona dengan Abi, bagaimana tidak model rambut, hobi, sama-sama atlet, gaya bicara, penampilan, sifat cuek seperti Venus yang dimiliki Abi membuat aku tertarik padanya. Beibh adalah nama panggilan sayangku untuk Venus, tapi mungkin Venus mikir kalo Beibh itu gue tujukan ke doi karena sifatnya yang kadang-kadang seperti anak kecil.
"By the way, ntar kamu masuk les nggak?"
"Ya, masuk kok." Bagaimana mungkin aku melewatkan waktuku begitu saja tanpa kamu, Bi. Kalo aja kamu tau aku kagum sama kamu. Aku suka kamu. Tapi, aku sangsi dengan perasaan ini. Jangan-jangan aku suka kamu hanya karena kemiripanmu dengan Venus.
Tett… Tett... Tak terasa bunyi bel berdering membuyarkan lamunanku dan segera sesudah itu Abi pamit dan aku kembali ke kelas dengan membawa sejuta pertanyaan.
… … … … … …
Tiga bulan telah berlalu.
Pesona Abi tak mampu menghapus bayangan Venus dari pikiranku. Yang kulakukan hanyalah mencipta lagu untuknya untuk menghibur diriku sendiri atas kepergiannya. "My Sweet Heart".
My Sweet Heart
3 2 3 1 │ 3 2 3 1 │
Saat ini diri ini
2 3 4 . │ 4 4 3 4│5 5 2 .│
Tak tahu apa yang terjadi…
3 3 2 2 │1 1 7 1│
°
Hanya satu kusesali
2 3 4.│4 4 3 4│55. 2│
Cintamu bukanlah untukku
6 7 1 2│ 3 ... │ 3 3 2 2 │ 1 1 7 .│1 2 6 .│
° ° ° °
Tapi ku coba . . . untuk tetap jadikan dirimu
1 7 . . │1 2 1 .│
°
Bintang Hatiku
2 3 4 5│6 . . . │
Harus ku coba
6 7 1 2│3 . . . │
° °
Melupakanmu
3 3 2 2 │1 1 7 7│11 . .│
Meski perih sakit hati ini
3 4 5 .│
Mencoba
4 4 3 3│2 2 33│3 . 4 4│
Mengobati rasa ini sendiri
6 7 1 2│ 3 ... │ 3 3 2 2 │ 1 1 7 .│1 2 6 .│
° ° ° °
Tapi ku coba . . . untuk tetap jadikan dirimu

1 7 . . │1 2 1 .│
° °
Bintang Hatiku

Suatu sore di bulan Maret, aku mengajak Tari ke Warnet Sedudo. Aku terkejut karena di sana bertemu dengan Davin. Davin adalah kakak kelasku sekarang, meskipun letak kelas kita berjauhan, namun sejak SMP kelas VIII aku sudah mengenalnya dan keluarganya, karena aku adalah guru piano adiknya yang sekarang sedang duduk si bangku SMP kelas VIII. Namun, saat itu adiknya, Jonathan, masih kelas 5 SD. Dan sebagai gantinya, aku diajari Davin computer, karena doi gape banget mainin computer. Hal ini kulakukan sebagai bentuk usaha pdkt dengannya. Meskipun hanya berlangsung selama ± 1 tahun, tapi aku merasa bahagia sebelum akhirnya kuputuskan untuk berhenti jadi guru piano Jojo, nama panggilan adik Davin karena waktu itu aku tahu dari Tari jika Davin hanya menganggap aku sebagai adiknya. Jadi, kurasa percuma saja bila tetap melakukan usaha pdkt dengan Davin. Akhirnya, tanggal 21 Februari 2008 kuputuskan untuk berhenti jadi guru piano Jojo. Dan sejak saat itu aku mulai belajar menganggap Davin sebagai kakak.
Namun, sejak pertemuan dengan Davin sore itu dan ditambah lagi kata-kata Tari jika Davin dan aku terlihat cocok sekali bila disandingkan sebagai kekasih membuat pikiranku terjejali bayangan Davin yang mengusik hatiku antara kenangan dan harapan masa lalu dengan kenyataan hari ini. Malam tanggal 15 April 2009 Davin menyatakan perasaannya kepadaku. Dia menyukaiku dan ingin agar aku jadi kekasihnya bukan lagi seperti asumsi masing-masing ketika hanya sebatas kakak dan adik, senior dan junior, atau guru dan murid. Selama ini, Davin membohongiku bila kehadiran dia hanya ingin ku anggap sebagai kakak.
Terang saja aku kaget saat itu. Kupikir ajakan Davin untuk makan malam adalah untuk merayakan ultahnya di bulan April atau sekedar menanyakan property untuk prepare ultahnya yang masih seminggu lagi. Aku meminta waktu untuk memberinya jawaban atas pertanyaannya itu. Dan kupikir ini adalah keputusan yang paling tepat.
Hampir semalaman aku tak bisa tidur memikirkan peristiwa 15 April 2009 itu. Kupikir jika hal ini kuceritakan pada Tari dan Sisi, tanpa ragu lagi mereka akan mendukung langkah Davin dan menyuruhku menerimanya saja dengan excuse tak ada gunanya aku menunggu Venus yang sampai saat ini tak diketahui rimbanya. Hanya akan membuang waktu saja bila terus menunggunya. Tapi aku semakin gelisah bila tidak menceritakan ini pada mereka. Akhirnya, kuceritakan keesokan harinya. Dan benar saja, Tari memberi jawaban sama persis seperti yang telah aku pikirkan. Namun, tidak demikian dengan Sisi. Bagiku jawaban Sisi cukup bijaksana. Dia ingin agar aku berpikir sejenak untuk selang beberapa hari sering date dengan Davin. Bila aku merasa nyaman ketika berada bersama Davin, berarti aku harus menerima cintanya. Namun, bila aku merasakan ada sesuatu yang kurang ketika jalan dengannya, itu berarti aku harus melepaskan Davin untuk yang lain.
Telah sepekan kujalani hari dengan kehadiran Davin. Namun, aku tak bisa membohongi diriku jika selama ini ketika bersama Davin ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang hanya bisa kurasakan ketika bersama seseorang yang telah mengisi hatiku saat ini, Venus, seseorang yang aku cintai. Aku sadar. Aku hutang penjelasan dengan Davin. Keesokan paginya, aku langsung pergi ke sekolah dan menuju tempat yang sudah aku janjikan untuk bertemu dengan Davin. Aku yakin Davin pasti juga sudah datang karena pesanku via facebook sudah kukirim sejak kemarin sore.
Akhirnya, pagi itu adalah pagi yang melunaskan hutang penjelasanku pada Davin. Aku tak peduli apakah setelah mendengar penjelasanku di H-1 ultahnya akan membuatnya marah atau benci padaku. Sengguh aku tak memperdulikan hal itu.
Dan aku telah memutuskan untuk tetap menunggu Venus, meskipun tanpa kepastian. But, I think this is my best way. Tapi ku coba untuk tetap jadikan dirimu "Bintang Hatiku". Aku yakin ini adalah keputusan yang paling bijaksana.
Please, come back to me, my sweet heart.

CERPEN LOVE IS CAN'T BE PREDICTED

CINTA TAK DAPAT DIPREDIKSI
Pagi itu, SMA ST. VINCENTIUS heboh. Heboh bukan karena ada event besar, tapi karena kedatangan anak baru yang bisa dikatakan idaman para kaum adam. Bagaimana tidak, dara baru ini perawakannya sporty dan style-nya feminim. Tentu saja hal ini membuat iri para gadis SMA ST. VINCENTIUS tak terkecuali Ave. Baru kali ini Ave membenci anak baru, bukan karena kecantikan yang dimiliki namun karena sewaktu SD mereka bermusuhan.
“Eva Emmerick, perkenalkan dirimu di depan kelas barumu!” seru Bu Mischa, guru mata pelajaran Biologi kelas X-5.
“Baik Bu. Teman-teman perkenalkan nama saya Eva Emmerick. Panggil saja saya Eva. Saya lahir di Jogya dan dari kecil sampai SD tinggal di Jogya. Lalu, mulai SMP saya pindah di Surabaya. Selanjutnya sekarang saya pindah kembali ke Jogya. Senang bisa berkenalan dengan kalian semua.”
“Wuih, Ve. Namanya mirip namamu.”
“Mirip kata loe? Cih, Jangan pernah samain gue sama dia. Amit-amit.”
“Eva silahkan duduk di samping Natanhael. Dia bintang kelas ini, jadi selama kamu ada kesulitan, kamu bisa langsung menanyakannya. Natan, tolong kamu bantu Eva bila dia mengalami kesulitan. Dan Ave, sementara kamu duduk di depan, di samping Alex!”perintah Bu Mischa.
“Tapi, Bu” elak Ave.
“Michellina Ave, untuk sementara saja. Ibu tahu kalian telah bersahabat dari SMP, tapi sekarang teman kalian sedang membutuhkan bantuan kalian.”
“Siap, Bu” seru Natan dengan semangat.
“Ih!” gerutu Ave sambil menginjak kaki Natan dengan kesal.
“Auw.”
Akhirnya Ave menuruti perintah Bu Mischa dan pelajaran subbab ekosistem pun dilanjutkan.
…..….. ………. …..….. …..….. ……….
“Huh. Sebel gue. Kenapa anak ingusan itu muncul lagi di kehidupan gue. Dasar sampah masyarakat. Masalah datang deh. Musibah kalo dia duduk di samping Natan. Jealous. Jealous” maki Ave selama perjalanan pulang yang waktu itu tak ditemani Natan yang masih sibuk menemani Eva mengejar materi yang belum dia pahami.
Semakin hari kedekatan antara Eva dan Natan semakin mencolok. Tentu saja hal ini membuat Ave uring-uringan. Setiap bertemu dengan teman-teman Ave, pasti yang mereka tanyakan adalah kedekatan Eva dan Natan. Setiap ngobrol dengan Natan pun, Natan gencar menceritakan keakrabannya dengan Eva.
Siang itu, OSIS SMA ST. VINCENTIUS mengadakan rapat untuk membahas persiapan festival band untuk puncak acara HUT SMA ST. VINCENTIUS. Tiba-tiba Ave marah dan membentak Willam, koordinator sie perlengkapan yang kala itu menanyakan pendapat berkaitan property festival. Untungnya William diam saja dan tak membalas makian adik kelas yang jelas-jelas salah.
“Ve, nanti malam aku mau cerita.”
Begitu bunyi SMS dari Natan yang diterima Ave sepulangnya dari sekolah. Ave tak membalas. Sejurus dia diam. Mencoba menebak apa yang akan menjadi topik nanti malam. Tiba-tiba lamunan Ave buyar.
“Pasti cewek sialan itu lagi!” teriak Ave dari dalam kamarnya.
“Ada apa Ve? Siapa yang sial? Sial kenapa?” tanya Cornel, kakak Ave.
“Nggak ada apa-apa Mas.”
Prediksi Ave tak meleset. Malam itu Natan cerita tentang banyak hal, tak terkecuali Eva. Rasanya sesak dada Ave mendengar pengakuan Natan di salah satu ceritanya jika dia menyukai Eva. Seusai percakapan mereka di telepon, langsung disambarnya Roman, buku diary Ave yang setiap lembarnya tak pernah absen dari nama Natan. Ave lalu menangis dan mulai menulis cerita tentang hal apa yang baru saja didengarnya dari Natan. Paginya, ketika Ave masih terlelap, Cornel masuk ke kamar Ave dan seketika itu dibacanya diary yang masih digenggam Ave. Bunyi dering weker Ave yang membuat Cornel menyudahi membaca diary Ave dan cepat-cepat mengembalikannya di genggaman adiknya.
Sore hari Cornel meluncur ke sekolah Ave untuk menjemputnya mengingat pagi harinya adik semata wayangnya itu berangkat dengan naik angkot. Di saat menunggu itu, William lewat dan Cornel menyuruhnya untuk berhenti lalu menanyakan keberadaan Ave. William menjawab kalo Ave sedang ikut ekstra. Semula William sempat jealous dan salting melihat dan mendengar bahwa lelaki tampan yang ada dihadapannya menanyakan tentang Ave. Dari sikap yang ditunjukkan William, Cornel tahu jika William sedang jatuh cinta pada adiknya. Lama mereka bercakap-cakap, termasuk cerita tentang Natan dan dari percakapan itu William tahu bahwa lelaki tampan itu adalah kakak Ave.
Benar saja, seminggu kemudian Natan dan Eva jadian. Tentu saja hal ini membuat Ave frustasi dan ingin pindah sekolah. Niat ini sudah diutarakannya pada Cornel yang kemudian Cornel ceritakan pada William.
“Ve, jangan pindah.”
“Apa-apaan sih lo, kak. Tangan loe juga ngapain nahan tahan gue!”
“Gue mohon loe jangan pindah sekolah.”
“Darimana loe tau gue mau pindah?”
“Pertanyaan itu nggak perlu gue jawab. Yang penting sekarang loe tunggu gue di depan gerbang sekolah.”
“Tapi buat apa?”
Pertanyaan Ave yang terakhir tak digubris William yang kemudian pergi menuju tempat parkir. Tak lama kemudian Ave dan William telah berada di kawasan rumah kumuh setelah berhasil pergi dari sekolah dengan alasan pergi membeli property festival band. Mereka menuju salah satu rumah yang penghuninya adalah seorang nenek tua yang renta dan hidupnya sebatang kara. Nenek itu terlihat kurus sekali, tapi dia tetap bekerja dengan mesin jahitnya yang telah usang. Sedikitpun tak pernah terlontar keluhan dari mulut sang nenek. Tak banyak yang Ave tanyakan melihat pemandangan yang ada dihadapannya.
William telah memberi pencerahan di hidup Ave. Akhirnya Ave urungkan niat untuk pindah sekolah. Satu tahun lebih telah berlalu dengan cepat. Tak terasa William telah menyelesaikan UNAS dan kini dia juga telah diterima di salah satu universitas ternama di ibukota. Hal ini mengharuskan kedekatan antara dirinya dan Ave semakin renggang, apalagi setelah status fb William yang berubah dari Complicated menjadi in relationship.
Hubungan Natan dan Eva ternyata hanya bertahan sampai 10 bulan. Kandasnya hubungan mereka dipicu oleh sifat manja Eva yang semakin hari semakin kentara. Setelah Natan putus dari Eva, dia kembali dekat dengan Ave. Tak butuh waktu yang lama untuk menjalin keakraban lagi bagi Natan dan Ave. Memori-memori lama bersama Natan mulai bermunculan. Hal ini membuat hati Ave terusik. Di saat itu, Natan mengutarakan niatnya untuk menjadikan Ave sebagai pujaan hatinya. Hal ini sebenarnya telah dinantikan Ave sejak lama, namun ketika kesempatan itu datang, Ave malah lari.
Selama Natan jadian dengan Eva, Ave sadar jika cinta tak bisa dipaksakan. Dia berusaha merelakan Natan untuk menjalin hubungan dengan Eva dan meredam permusuhannya dengan Eva. Semua itu berkat bantuan seseorang. Seseorang ini telah membuat warna di hidupnya. Sosok ini pula yang dirindukan Ave akhir-akhir ini. Sosok yang membuatnya bisa tegar setegar batu karang yang tak henti diterpa gelombang. Sosok yang dirindukannya tak lain adalah William.
Akhirnya waktu liburan semester tiba, Ave datang untuk menjemput William di terminal. Seketika itu juga terperanjaklah William melihat Ave datang berlari ke arahnya.
“Kak William, lama nggak bertemu. Gimana kabarmu?”
“Baik, Ve. Ve, kok kamu tau hari ini aku pulang?”
“Aku tau dari status fb-mu kak. Aku mau tanya, please jawab dengan jujur.”
“Tentang apa? Kelihatannya serius.”
“Apa kakak sudah punya pacar?”
“Kenapa kamu tanya tentang hal ini?”
“Please kak, jawab iya atau tidak.”
“Well, perhaps now is good time to say about honesty. Since 2nd grade in Senior High School there was one girl, who always makes my life spirit. She always attend in my dream, she always can make me laugh. Do you know who is she?”
“Surely I don’t know about her.”
“Now, she is stand up in front of me.”
“What? Is it true what I’ve heard?”
“She is you.”
“So?”
“So, actually at my fb is lie. I put that status because I want to concentrate to UNAS. And actually your brother knew it. Exactly, he makes me realize about my truly feeling.”
“My brother know about it? It’s mean that he is people who was behind the scenario?”
“No. But, love is can’t predict.”

ARRGHH!!!!CINTA PERTAMA

ARRGH! CINTA PERTAMA?

Pagi itu udara dingin menyeruak kota pahlawan setelah sehari sebelumnya diguyur hujan sehingga rasanya enggan untuk beranjak dari peraduan, hingga akhirnya membawa sepasang remaja datang terlambat ke sekolah.
“Bun, berangkat ya?” ucap seorang gadis pada ibunya.
“Iya, Nak. Hati-hati. Maaf Bunda tak bisa mengantar ke sekolah barumu. Nanti yang ramah ya, Nak. Jangan lupa ….,” belum sempat Ibu itu menyelesaikan kalimatnya sudah terpotong ujaran putrinya.
“Iya, Bun. Kelas XI –IPA 4. Dahh.”
Arrgh… Bruk.
“Aduh!” rintih gadis itu.
Di hadapannya berdiri seorang laki-laki bertubuh atletis yang baru saja menabrak tubuhnya hingga jatuh.
“Kalo jalan liat-liat dong!” maki laki-laki itu.
Sial rasanya berpapasan dengan laki-laki itu. Jelas-jelas dia yang salah, bukan permintaan maaf yang didengar tapi malah makian. Tak lama setelah kejadian itu lewatlah bus yang akan membawa mereka ke sekolah. Anehnya, laki-laki itu dipersilahkan duduk oleh sang kondektur, sedangkan gadis itu tetap dibiarkan berdiri.
Ketika tiba di sekolah, pintu gerbang depan telah tertutup. Laki-laki itu tampaknya tak kehilangan akal. Ditariknya tangan gadis itu untuk menuju suatu tempat.
“Heh. Lepasin!” seru gadis itu melihat tangannya ditarik sang cowok.
“Lo mau pulang atau tetap sekolah di sini?”
“Darimana lo tau gue sekolah di sini?”
“Bego. Ya dari id seragam lo-lah. Lo pasti anak baru.”
Ternyata cowok itu membawa gadis itu ke gerbang belakang sekolah mereka.
“Pak Ribut,” panggil cowok itu.
“Eh, Mas Rigel. Telat lagi, Mas.”
“Iya, Pak. Tolong bukain, Pak. Sekali ini saja?”
“Untuk yang terakhir ya Mas?”
“Iya, Pak,” sahut gadis dan cowok itu bersamaan.
“Thanks, ya. Lo udah nolong gue.”
“Siapa juga yang nolong lo?”
“Tapi lo udah bantu gue masuk sini.”
Tampaknya cowok itu tak menggubrisnya. Gadis itu tetap mengikutinya sembari mencari ruang bertuliskan XI –IPA 4, ruang kelas barunya. Ternyata cowok itu sekelas dengannya.
Hari berganti bulan, telah genap sebulan Rigel dan gadis itu berangkat sekolah bersama dan terlambat telah menjadi ritual harian mereka. Tak jarang hukuman pun menghinggapi mereka. Pada suatu siang, Lousiana teman gadis itu bertanya padanya.
“Fel,” panggil Lousiana pada Eifel, nama gadis itu.
“Eh, iya Lous.”
“Lo kok tiap hari berangkat bareng Rigel naik bus, telat bareng pula?”
“Ehm, kenapa ya? Gue sendiri juga nggak tau. Rasanya sensasinya beda kalo telat bareng Rigel. Eh, ternyata dia sekompleks lo sama gue. Gue baru tau itu kemarin.”
“Wah, jangan-jangan lo jatuh cinta sama Rigel. Hehe… Kok lo bisa tau rumah dia? Gue aja yang dari dulu sekelas nggak tau rumahnya. Dia itu kan misterius,” ledek Lousiana.
“Ya nggak lah untuk saat ini. Dia itu terlalu cuek untuk ditaklukin. Kemarin gue buntuti dia waktu pulang sekolah, habisnya gue penasaran kok tiap hari telat padahal naik bus. Emm, sebenarnya dia baik, bukan misterius, tapi cool.”
“Tu kan. Lo belain dia. Ehm, gue penasaran kenapa dia nggak pernah terlihat naik motor kayak cowok lain?”
“Iya,ya. Gue juga belum pernah lihat dia pergi naik motor. Padahal gue lihat di rumahnya kemarin ada motor balap. Emm.. entar deh gue coba tanya dia.”
“Oke. Habis gitu lapor ke gue ya?”
“Beres.”
Siang harinya ketika menunggu bus, Eifel memberanikan diri bertanya pada Rigel.
“Rigel” sapa Eifel sembari menyentuh bahu kekar laki-laki itu.
“Ada apa?”
“Aku boleh tanya?”
“Tergantung. Selama gue bisa jawab.”
“Maaf sebelumnya. Kok kamu tiap hari naik bus? Kenapa nggak ….,”
“Bukan urusan lo.”
“Rigel, maaf. Aku mau kok bantu kesulitanmu. Kalo kamu butuh teman untuk cerita, kamu bisa panggil aku. Aku akan dengarkan semua ceritamu dan berusaha ngasih solusi yang tepat.”
“Gitu ya?”
“Kok jawabnya gitu?”
“Gue mau tanya lo. Kenapa lo selalu telat? Lo mau bareng gue ya? Dan kemarin kenapa lo buntuti gue? Lo mau mata-matain gue ya? Jawab!” bentak Rigel sambil mencengkeram lengan Eifel.”
“Aduh. Lepasin gue. Iya gue mau cerita. Gue ngrasa susah buat bangun pagi akhir-akhir ini. Trus kemarin gue cuma mau tau rumah lo doang. Beneran deh.”
“Bohong!”
“Kalo aku jujur, apa kamu juga akan jujur ke aku dengan memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi?”
Sejenak suasana hening. Lalu terpecahkan oleh suara Rigel.
“Oke. Gue mau jujur ke lo tentang suatu hal. Tapi lo harus janji lo bakal jaga rahasia ini. Janji?” ucap Rigel sambil melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Eifel.
“Iya. Gue janji,” balas Eifel dengan senyum terindahnya yang membuat hati Rigel luluh.
“Ikut gue ke food court yuk sekaligus makan siang. Gue udah laper ni. Tadi belum sarapan.”
“Iya, bentar ya? Aku nelpon Bunda dulu.”
“Cepetan sana!”
Setelah menelpon Bunda dan tiba di food court, Rigel memesan makanan dan sebelum memulai ceritanya, dia bertanya pada Eifel.
“Fel, kenapa kamu mau dekat sama aku?”
“Kan nggak ada undang-undang untuk ngejauhi kamu?”
“Kata orang aku orang yang misterius. Kamu nggak takut diculik?”
“Kamu mau nyulik aku? Hehe… Ya nggak lah. Kamu itu orangnya cuek, bukan misterius. Aku tau itu sejak pertama kita bertemu, aku yakin kamu orangnya baik dan nggak bakal menculik aku karena kamu selalu nolong kesulitan aku. Inget nggak waktu pertama kali aku masuk, kita telat bersama terus masuk bareng, dihukum bareng gara-gara telat, trus kamu bantu aku cari buku saat di perpus, dan masih banyak hal baik lain yang kamu lakuin ke aku. Aku jadi ngrasa aneh kalo nggak nglakuin hal itu sama kamu.”
“Kok kamu tau aku bakal nanya alasannya?”
“Iya lah. Kita kan …..,”
“Kita kenapa?”
“Ah, nggak apa. Jadi apa masalahmu?”
“Aku memang punya motor balap, aku suka balapan sejak kecil. Orang tuaku juga support aku balapan asalkan nggak balapan liar. Aku sering menjuarai lomba balap dulu waktu SMP, hingga dia datang. Alexa membawa perubahan besar di hidupku. Dia mantan pacarku, dia nggak ingin lihat aku kecelakaan di arena balap. Dia nglarang aku balapan. Awalnya aku menolak, hingga suatu ketika dia datang ke rumahku untuk mengembalikan buku yang dia pinjam. Tiba-tiba ada motor dari arah samping melaju cepat dan menabrak dia. Dia nggak tertolong. Sejak itu aku nggak mau naik motor lagi. Aku nggak mau lihat dia sakit di sana.”
“Sorry. Tapi asal kamu tau aja. Itu murni kecelakaan. Semua bukan salah kamu. Hidup kita masih ada masa depan. Kalo kamu mau, kamu bakal jadi pembalap yang mengarungi jalan tanpa ujung. Kamu harus yakin dia sudah tenang dan dia juga akan lebih bahagia kalo kamu berhasil menggapai cita-citamu sebagai seorang pembalap.”
“Stop! Lo nggak tau tentang dia. Sepertinya gue cerita pada orang yang salah.”
Rigel lalu pergi.
….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. …… ….. ….. …..
Wajah menggambarkan kekhawatiran dengan harapan-harapan terpancar dari sosok bertubuh tegap atletis yang berdiri di depan ruang bertuliskan ICU dan tampak terkulai setelah mendengar percakapan antara pria yang berpakaian jas putih dengan seorang wanita. Pria itu mengatakan bahwa putrinya terserang tumor otak stadium 3 awal. Yang mengejutkan adalah karena gadis yang dimaksud adalah Eifel. Sejurus kemudian sosok itu melesat pergi ke arena balap liar. Tak biasanya Rigel ikut balap liar, tapi dalam hatinya membenarkan perkataan Eifel, gadis yang memberi warna di hidupnya belakangan ini. Dia harus berjuang untuk bisa mempersembahkan uang hasil kemenangannya untuk operasi gadis yang dicintainya itu.
Tapi, nasib berkata lain. Ketika akan mencapai garis finish, motor Rigel disodok dari dua arah. Dia dalam posisi terjepit dan akhirnya kehilangan keseimbangan membuatnya jatuh tersungkur. Dia kehilangan banyak darah hingga tak bisa bertahan lagi, dia menghembuskan nafas terakhirnya di dunia ini. Dunia yang menghantarkan pada kefanaan.
Ibu Sita, Bunda Eifel yang mendengar berita itu tak tega menceritakannya pada Eifel. Tiba-tiba keesokan harinya datang seorang lelaki setengah baya menghampiri Eifel dan ibunya. Orang-orang memanggilnya dengan nama Yosua, dia ayah Rigel. Yosua datang memeluk Sita dan Eifel. Dia mengatakan bahwa Rigel dan Eifel adalah saudara. Dia dulu melakukan kesalahan saat Ibu Stevie, Ibu Rigel mengandung, dia berbuat penyelewengan dengan sekretaris kantornya, Sita, yang tak lain adalah Bunda Eifel. Saat itu pula Sita mengandung benih hasil hubungan gelapnya dengan Pak Yosua. Dengan kata lain, Rigel adalah kakaknya dari ibu yang berbeda. Ini artinya Eifel tak boleh jatuh cinta pada Rigel. Tuhan memang telah mengatur skenario cintanya yang terlarang harus berakhir, padahal Rigel cinta pertamanya. Pak Yosua mengetahui kebenaran itu dari buku kecil Rigel, buku pemberian almarhumah istrinya. Setelah itu biaya operasi Eifel ditanggung Pak Yosua. Tak lama setelah itu Pak Yosua menikahi Ibu Sita dan dengan demikian resmilah Eifel sebagai putri kandungnya.
Eifel itu kini sedang duduk di sampingku, kami sama-sama menikmati perjalanan Kereta Api Sancaka Pagi. Dia hendak menyusul suaminya di Jogja dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai seorang receptionist sebuah hotel di kota gudeg itu, setelah mengunjungi kedua orangtuanya di Surabaya. Aku mendengar secuil kisah hidupnya setelah sayup-sayup antara kantuk dan sadar dia awalnya menggemakan lagu yang sangat akrab di telingaku
Tak kan lagi belai lembut tubuhmu
Tak kan lagi sentuhan bibir manismu
Tak kan lagi satu di dalam dirimu
Ku merindumu
Oh kasihku dengarlah seruanku
Oh pintaku jangan lupakan diriku
Jadikanku kisah manis dalam hidupmu
Kau kekasihku…
Ya, itu reffren lagunya Delon “Merindumu”. Di akhir ceritanya dia berkata,”Aku pernah membaca sebuah novel. Di novel itu tertulis jika kau menyayangi seseorang, maka kau harus mengatakannya, begitu momen itu datang. Karena kalau tidak, maka momen itu akan pergi begitu saja dan tak akan pernah datang lagi seperti halnya cinta pertama. Lalu kau akan menyesal. Aku telah kehilangan momen itu seiring kepergian Rigel. Tuhan memang baik, memang seharusnya aku mencintai dia sebagai seorang kakak, bukan cinta pertama. Meski sekarang aku telah bersuami, namun pengalaman kepahitan cinta pertamaku akan tetap ku kenang. Dek, saya rasa kamu sedang jatuh cinta.”
“Ah, masakan terlihat Mbak?”
“Iya, jemput cintamu itu, Dek!” mendengar hal itu aku hanya bergeming.
Entah mengapa setelah mendengar ceritanya aku jadi semakin yakin untuk menyusul dia. Dia yang sekarang berada di kota pertempuran Ambarawa untuk sebuah misi, mengejar cita-citanya. Dia yang selama tiga tahun terakhir mengisi bilik hatiku. Rasanya relung ini benar-benar tak kuasa untuk menahan sebuah gejolak. Ya, akhirnya dalam pergulatan hati ini aku mengenal dia, yang orang-orang menyebutnya dengan cinta pertama. Benar, rahasia hati harus terungkap, walaupun logika ini dikalahkan hati.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Puisi ini untuk s.o

DIA MENUNGGU DIA

Sampai detik ini aku masih menunggunya
Menunggu hatinya terbuka
Terbuka untuk terima cinta
Cintaku yang hanya untuknya

Aku tak tahu, apakah dia menungguku?
Ataukah dia menunggu dia?
Dia yang ku tunggu
Ku nanti dengan tetap setia

Mengapa aku masih menunggunya?
Lihat, sekarang dia sedang menanti
Menanti masa depannya
Masa depan yang jelas menjadi jarak antara aku dan dia

Saat ini aku ingin melewati waktu yang tersisa ini bersamanya
Sebentar lagi masanya akan tiba
Di mana kita akan dipisahkan oleh jarak ribuan mil
Kembali seperti 3 tahun silam
Tatkala itu aku berusaha melepasnya
Dan Tuhan mengembalikannya ke alam bebas
Dia lepaskan itu untuknya

Tuhan, restuilah pilihanku
Hanya dialah yang selalu membuat indah mimpi malamku
Membuat warna dalam lembaran hariku
Membuat aku cinta padanya
Meski sampai kapan aku akan memendam rasa ini

Aku tak tahu
Karena aku terlalu munafik untuk mengakui jika aku cinta padanya
Aku terlalu egois untuk mengatur waktu
Aku terlalu gengsi untuk menyatakan cinta padanya
Aku terlalu jaga image untuk bicara dihadapannya

Tuhan, bantu aku untuk bisa mengatakan satu kata saja kepadanya
Satu kata yang mewakili sejuta rasa yang ada
Menggebu untuk minta dinyatakan
Kata itu
Kata orang
Kata mereka
Katanya CINTA

Catatan diary 19 Januari 2010